Minggu, 17 Oktober 2010

Perlunya Para Pelaku Usaha Kecil Mulai Berjamaah

Usaha MIkro Kecil dan Menengah (UMKM) yang terdiri dari para pedagang kaki lima sampai para pedagang yang berada di pasar tradisional merupakan mayoritas dari para pelaku usaha yang tersebar di Indonesia. mayoritas para pelaku usaha ini mempunyai kendala yaitu kurangnya modal yang menyebabkan mereka menjadi kalah bersaing dengan para pemilik modal besar. Pasar tradisional yang dimiliki kaum pribumi mulai kurang diminati oleh masyarakat, karena kalah bersaing dengan supermarket yang notabennya memiliki modal yang besar yang dikuasai kaum kapitalis barat.
Rencana diberlakukannya era globalisasi yang dikumandangkan kaum kapitalis barat, akan menyebabkan para pelaku UMKM yang dikuasai bangsa pribumi akan semakin terpuruk, sehingga bangsa pribumi kita akan menjadi buruh di tanah sendiri. Sulitnya para pelaku UMKM untuk mencari bantuan modal atau dalam hal ini meminjam modal ke bank konvensional, umumnya jarang diperhatikan oleh pihak bank, karena memang usahanya kecil, maka keuntungan yang diperoleh pun kecil juga, sehingga pihak bank pun enggan untuk memberikan pinjaman. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan pogram bekerjasama dengan bank konvensional untuk memberikan pinjaman terhadap para pelaku UMKM, tetap saja sebagian dari mereka enggan untuk meminjam, dikarenakan adanya ketakutan tidak bisa membayar cicilan ditambah dengan bunga yang akan melilit mereka. Hanya tinggal menunggu waktu saja kebangkrutan para pelaku UMKM ini bersaing dengan pelaku usaha makro yang dikuasai kaum kapitalis barat.
Untuk itulah diperlukannya suatu tindakan yang dapat merubah kondisi ini, tentunya tindakan ini haruslah inisiatif dari pelaku UMKM itu sendiri dengan membentuk kerjasama (kooperasi) diantara sesama pelaku UMKM untuk membentuk suatu kekuatan yang dapat menyaingi kaum kapitalis barat, sehingga bisa bersaing. Di zaman kolonialisme Belanda tindakan ini pernah dilakukan oleh para pedagang Nusantara dengan mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905 oleh Haji Samanhudi untuk menyaingi monopoli yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda. SDI dalam hal ini menghimpun hampir seluruh para pedagang pribumi muslim (umumnya para pedagang batik), dengan pengelolaan sistem syariah Islam dalam landasan ekonominya, Hingga pada akhirnya SDI meluas ke seluruh wilayah di Nusantara.
Dalam perkembangannya system yang diberlakukan SDI, dalam mengatur perekonomian para pedagang di Nusantara, maka lahirlah system koperasi yang menghimpun dana yang dikumpulkan dari seluruh anggota koperasi, dengan dana yang dikumpulkan para anggota bisa meminjam dana, sehingga dikenal dengan koperasi simpan pinjam. Bahkan kekuatan dari koperasi ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda melihat perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di Indonesia yang menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi antara lain :
a. Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil
b. Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda
c. Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal dan di samping itu diperlukan biaya materai f 50

Melihat dari kenyataan diatas, betapa dahsyatnya dampak dari bersatunya para pelaku usaha pribumi yang bahkan dapat mengguncangkan kolonialisme Hindia Belanda sehingga mengeluarkan kebijakan khusus tentang pengaturan tentang koperasi. Bayangkan saja apabila para pelaku UMKM di Indonesia bersatu, membentuk sebuah kekuatan dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk apapun sehingga ketika datangnya era globalisasi, para pelaku UMKM akan menjadi tuan di negeri sendiri. Yang terpenting adalah dimunculkannya sikap kesadaran akan pentingnya berjamaah dalam mencapai suatu tujuan mulia.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar