Rabu, 27 Oktober 2010

Menanggapi makalah Nasionalisme dalam pemberitaan pers local di tasikmalaya, 1900-1942 Oleh Miftahul Falah. M.Hum dalam kegiatan Dies Natalies ke- 52 Fakultas Sastra Unpad

Perjuangan menuju kemerdekaan bangsa Indonesia, yang konon dimulai dari sebuah pergerakan nasional yang diusung oleh Boedi Oetomo (BO) tanggal 20 mei 1908, 20 tahun kemudian , tepatnya tanggal 20 oktober 1928 pergerakan nasional ini menggerakkan para pemuda untuk memunculkan semangat nasionalisme, memunculkan kesadaran nasionalisme kepada bangsa Indonesia, dengan mengikrarkan sumpah pemuda yaitu menyatakan bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu yakni INDONESIA. Dalam upaya memunculkan kesadaran Nasionalisme ini, tidak hanya dilakukan oleh para pelaku pergerakan organisasi nasional yang tersebut, namun di di daerah local yang berjuanng tidak melalui sebuah pergerakan nasional, mereka berjuang melalui pers yang dijadikan media untuk memunculkan kesadaran nasionalisme yang diusung oleh semua pergerakan nasional di seluruh Indonesia.
Dalam hal ini Miftahul Falah, M. Hum. dalam makalahnya menjelaskan tentang peranan pers local di Tasikmalaya yang memunculkan kesadaran Nasionalisme di Tasikmalaya, menurutnya Pers Indonesia yang acapkali disebut juga sebagai pers pergerakan bertujuan hendak membangun daya intelektual sebagai upaya mewujudkan cita cita kemerdekaan. Daya intelektual tersebut lebih dahulu harus diasah dan diuji dengan berwacana di media (surat kabar atau majalah). di Tasikmalaya sendiri pun menurutnya telah terbit 18 surat kabar dan majalah yaitu Galoenggoeng, djoenjoenan, Soekapoera, Pemandangan, Sipatahoenan, Langlajang Domas, Pekabaran,dll. Surat kabar Sipatahoenan dan langlajang Domas lebih mengutamakan isu-isu politik yang memengaruhi perkembangan kebangkitan nasional. Selain itu, kedua surat kabar tersebut cenderung ingin memberikan pendidikan politik agar generasi muda etnis sunda memiliki kedalaman ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagaimana ditegaskan redaksi “bade miwoeroek mitoetoer palapoetra Padjadjaran, kawoewoeh pinoeh koe panemoe, djembar koe pangabisa”.
Masih banyak lagi surat kabar dan majalah yang terbit di tasikmalaya yang memunculkan sebuah ide untuk menyadarkan nasionalisme Indonesia. Namun yang menjadi pertanyaan besar bagi saya pribadi adalah apakah membaca surat kabar dan majalah sudah menjadi kebiasaan di masyarakat Tasikmalaya?, jangankan membaca majalah dan surat kabar, untuk membaca sebuah buku pun masyarakat Tasikmalaya mungkin belum terbiasa, membaca al quran mungkin lebih terbiasa daripada membaca sebuah surat kabar dan majalah. itulah mengapa pers yang muncul di Tasikmalaya tidak bertahan lama, dikarenakan minat baca masyarakat Tasikmalaya terhadap surat kabar dan majalah sangat kurang, apakah mungkin sebuah surat kabar dan majalah yang tidak dibaca oleh masyarakat tasikmalaya pada saat itu, bisa membangun sebuah kesadaran nasionalisme?

1 komentar:

Miftahul Falah mengatakan...

Kalimat anda "jangankan membaca majalah dan surat kabar, untuk membaca sebuah buku pun masyarakat Tasikmalaya mungkin belum terbiasa, membaca al quran mungkin lebih terbiasa daripada membaca sebuah surat kabar dan majalah" perlu dipertanyakan lagi. Apa sumbernya?
Usia penerbitan yang singkat bagi surat kabar pribumi tidak hanya terjadi di Kota Tasikmalaya, melainkan juga di beberapa daerah. Oleh karena itu, patut dipertanyakan kalau anda menjadikan itu (minat baca yang rendah) sebagai satu-satunya indikator untuk menilai lama tidaknya surat kabar terbit. Saya sendiri tidak secara khusus meneliti tentang itu. Yang saya teliti adalah mengapa di Kota Tasikmalaya cukup banyak terbit surat kabar pribumi (1900-1941). Jika anda minat untuk meneliti masalah ini, itu sesuatu yang bagus. Sayangnya, pada saat makalah ini saya paparkan, anda tidak bertanya (entah hadir atau tidak).
Bisa jadi tidak semua masyarakat Kota Tasikmalaya membaca surat kabar. Saat ini pun mungkin hanya sekian persen yang membaca surat kabar. Namun demikian, kalau anda membaca surat kabar itu, tidak sedikit berita yang memuat nasionalisme. Balaka dan Toembal, misalnya, tidak hanya memberitakan bagaimana Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan tokoh pergerakan nasional lainnya menyampaikan gagasan-gagasan nasionalisme. Dalam perspektif lokal, keberadaan surat kabar lokal bisa menjadi wadah bagi masyarakat lokal menyampaikan gagasan nasionalisme-nya.
Jadi, dalam perspektif inilah, anda harus melihat peranan pers dalam menumbuhkan nasionalisme. Hampir di setiap surat kabar yang terbit di Kota Tasikmalaya selalu ada rubrik berupa artikel politik, berita politik, hubungan politik dan agama, dan semacam surat pembaca. Nah, itulah salah satu bentuk komunikasi karena tidak sedikit tulisan itu mendapat tanggapan dari pembaca, entah itu tokoh, entah itu rakyat, entah itu pelajar, entah santri (ada beberapa media massa berbasiskan agama).
Namun demikian, saya salut kepada anda yang telah mengkritik saya. Teruslah berpikir dan berkarya sehingga anda akan lulus dari sejarah tidak secara kebetulan ...

Posting Komentar

Posting Komentar