Kamis, 04 November 2010

Tidak ada tulisan, maka lisan yang berbicara

Ketika ada sebuah era dimana penulisan sejarah yang dilakukan oleh seorang sejarawan, ditentang oleh yang berkuasa, sehingga tidak muncul sebuah budaya penulisan sejarah secara objektif, misalnya di Indonesia pada zaman orde baru Soeharto, tidak banyak meninggalkan jejak-jejak masa lampau (historical sources) sehingga sulit sekali untuk merekonstruksi kejadian-kejadian pada masa orde baru , dalam hal ini tidak banyak arsip yang ditinggalkan terbuka untuk umum, jarang sekali dokumen tertulis yang menjadi sumber untuk merekonstruksi sebuah peristiwa yang terjadi pada masa itu. Penulisan yang dilakukan oleh sejarawan pada saat itu pun mengenai peristiwa besar yang terjadi, sangat ditentang oleh Soeharto, apalagi peristiwa yang bekaitan dengan yang bertentangan dengan pemerintah, pemerintah pun tidak akan segan-segan untuk membunuh mereka yang memberontak. hingga dampaknya sekarang sumber tertulis yang menyangkut tentang orde baru hampir sulit ditemukan.
Dikarenakan kita yang hidup pada zaman sekarang tidak mengalami dan mengetahui peristiwa yang terjadi, maka satu satunya cara untuk bisa merekontruksi sebuah peristiwa yang tidak terdapat sumber tertulis seperti pada masa orde baru adalah dengan mengandalkan sumber lisan dari orang-orang yang hidup sezaman dengan peristiwa itu. Sejarah lisan menurut Sartono Kartodirdjo (1991) adalah cerita tentang pengalaman kolektif yang disampaikan secara lisan. Dalam mengumpulkan sumber lisan yang diinginkan, ada tehnik yang harus dilakukan yaitu dengan tekhnik wawancara dimana orang yang mewawancarai memberikan beberapa pertanyaan yang berdasrkan 5W dan 1H (who, where, what, when, why) dan (How), dan nantinya diberikan kepada sumber (orang) yang akan diwawancara. Dalam tehnik ini seorang pewawancara haruslah lihai dalam melihat kondisi ketika hendak mulai wawancara, jangan sampai ketika mewawancara kita terbawa arus kisah yang diceritakan, misalnya kita terharu dengan kisah yang diceritakan oleh pengkisah tentang kekerasan yang dialaminya pada tahun (1965-1966) yang dilakukan pada zaman orde baru, sehingga menimbulkan suatu sikap pembelaan (empati) kepada sang pengkisah. Sebagai seorang sejarawan yang mencari sumber sejarah dari wawancara yang dilakukan, dan tidak seharusnya memiliki rasa peduli (empati) terhadap yang diwawancara,seorang sejarawan haruslah focus terhadap pencarian sumber sejarah. kita tidak perlu menjadi iba (empati) terhadap apa yang dirasakan oleh sang pengkisah, hal ini untuk meminimalisir subjektivitas yang akan muncul.
Dalam melakukan wawancara pun haruslah mempunyai kemampuan untuk melakukan pendekatan secara psikologis, maksudnya adalah cara dalam mewawancarai dengan melihat kondisi psikologis sumber yang dalam prakteknya sulit untuk menceritakan peristiwa yang dialaminya, sehingga memungkinkan kedepannya akan muncul kesulitan dalam mewawancara, misalkan orang yang akan diwawancara memiliki sebuah trauma yang berkaitan dengan cerita yang kita butuhkan, maka dalam hal ini pewawancara haruslah mengerti kondisi psikologis dan melakukan pendekatan sekaligus memberikan pengertian yang lebih. Kita harus membuat sang pengkisah merasa nyaman dengan wawancara yang dilakukan sehingga kisah yang diceritakan dapat dikeluarkan dengan benar pula dan pada akhirnya bisa kita dapat sumber lisan yang sepenuhnya dari sang pengkisah.

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar