Minggu, 14 November 2010

sejarah kota

Kota Secara bahasa, kata Kota dalam bahasa Indonesia, bermula dari benteng, Daerah atau kawasan yang dilindungi dan dipertahankan, tempat kedudukan orang penting dan berkuasa, pusat pemerintahan atau kerajaan (Saliya, 2003: 59) kota sebagai tempat berkumpulnya orang -orang (manusia) yang di dalamnya terdapat suatu aktifitas kehidupan untuk memenuhi kegiatan ekonomi, yang membuat sebuah kota menjadi hidup. Indonesia (nusantara) terkenal sebagai penghasil rempah rempah tebesar di dunia, hingga Pada tahun 1596 empat kapal ekspedisi dari bangsa eropa yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman berlayar menuju Indonesia, dan merupakan kontak pertama Indonesia dengan Belanda. Ekspedisi ini mencapai Banten, pelabuhan lada utama di Jawa Barat, disini mereka terlibat dalam perseteruan dengan orang Portugis dan penduduk lokal. Houtman berlayar lagi ke arah timur melalui pantai utara Jawa.
Dalam kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa eropa (VOC dan Belanda), mereka berniat menguasai rempah rempah yang dihasilkan oleh penduduk yang berada di nusantara. Untuk menguasai Nusantara secara keseluruhan, tentu mereka tidak secara langsung menguasai Nusantara langsung, tetapi dari sekup kecil dulu, dari sebuah keresidenan (kota), yang memiliki peran dalammenghasilkan rempah rempah yang melimpah ruah di nusantara.Dari sinilah jejak peristiwa sebuah sejarah tentang sebuah kota di Nusantara direkam oleh pihak Belanda dalam upaya penguasaan wilayah Nusantara.
Dalam menelaah sebuah sejarah kota di Nusantara tentu tidak terlepas dari peran historis Belanda dalam membangun kekuasaan politik Hindia Belanda. Sebuah kota yang dikuasai oleh pihak Belanda tentu haruslah mempunyai fungsi yang memberikan keuntungan, contohnya dua kota di Jawa barat yaitu kota Cianjur dan Majalengka, kota Cianjur pada tahun 1677 telah berhasil dikuasai oleh VOC yang direbut dari Mataram, pada awal berdirinya kabupaten cianjur Aria Wiratanu III (1707-1726) memiliki peranan yang sangat besar dalam hal pemasukan ekonomi dengan penyerahan hasil kopi pertama di Priangan kepada VOC. Selanjutnya Majalengka sebagai sebuah kabupaten Maja dalam kebijakan Pemerintah Hindia Belanda mempunyai berbagai tujuan yaitu ditujukan untuk memudahkan urusan administrasi baik administrasi pemerintahan di daerah jajahan maupun administrasi ekonomi dalam usaha eksploitasi daerah juga bertujuan untuk mengumpulkan pajak tanah.
Secara garis besar membahas tentang sejarah kota di Jawa barat tentu tidak terlepas dari kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa barat, selain dari sejarah kota tersebut dari asal usul penamaan daerah tersebut, tentu kota kota di Jawa barat menjadi semakin hidup setelah datangnya kolonialisme, karena di saat itulah terjadi sebuah perubahan besar yang mampu membangun kesadaran nasionalisme, tentang perjuangan yang dimulai dari wilayah kecil di sebuah kota.
Kamis, 04 November 2010

Tidak ada tulisan, maka lisan yang berbicara

Ketika ada sebuah era dimana penulisan sejarah yang dilakukan oleh seorang sejarawan, ditentang oleh yang berkuasa, sehingga tidak muncul sebuah budaya penulisan sejarah secara objektif, misalnya di Indonesia pada zaman orde baru Soeharto, tidak banyak meninggalkan jejak-jejak masa lampau (historical sources) sehingga sulit sekali untuk merekonstruksi kejadian-kejadian pada masa orde baru , dalam hal ini tidak banyak arsip yang ditinggalkan terbuka untuk umum, jarang sekali dokumen tertulis yang menjadi sumber untuk merekonstruksi sebuah peristiwa yang terjadi pada masa itu. Penulisan yang dilakukan oleh sejarawan pada saat itu pun mengenai peristiwa besar yang terjadi, sangat ditentang oleh Soeharto, apalagi peristiwa yang bekaitan dengan yang bertentangan dengan pemerintah, pemerintah pun tidak akan segan-segan untuk membunuh mereka yang memberontak. hingga dampaknya sekarang sumber tertulis yang menyangkut tentang orde baru hampir sulit ditemukan.
Dikarenakan kita yang hidup pada zaman sekarang tidak mengalami dan mengetahui peristiwa yang terjadi, maka satu satunya cara untuk bisa merekontruksi sebuah peristiwa yang tidak terdapat sumber tertulis seperti pada masa orde baru adalah dengan mengandalkan sumber lisan dari orang-orang yang hidup sezaman dengan peristiwa itu. Sejarah lisan menurut Sartono Kartodirdjo (1991) adalah cerita tentang pengalaman kolektif yang disampaikan secara lisan. Dalam mengumpulkan sumber lisan yang diinginkan, ada tehnik yang harus dilakukan yaitu dengan tekhnik wawancara dimana orang yang mewawancarai memberikan beberapa pertanyaan yang berdasrkan 5W dan 1H (who, where, what, when, why) dan (How), dan nantinya diberikan kepada sumber (orang) yang akan diwawancara. Dalam tehnik ini seorang pewawancara haruslah lihai dalam melihat kondisi ketika hendak mulai wawancara, jangan sampai ketika mewawancara kita terbawa arus kisah yang diceritakan, misalnya kita terharu dengan kisah yang diceritakan oleh pengkisah tentang kekerasan yang dialaminya pada tahun (1965-1966) yang dilakukan pada zaman orde baru, sehingga menimbulkan suatu sikap pembelaan (empati) kepada sang pengkisah. Sebagai seorang sejarawan yang mencari sumber sejarah dari wawancara yang dilakukan, dan tidak seharusnya memiliki rasa peduli (empati) terhadap yang diwawancara,seorang sejarawan haruslah focus terhadap pencarian sumber sejarah. kita tidak perlu menjadi iba (empati) terhadap apa yang dirasakan oleh sang pengkisah, hal ini untuk meminimalisir subjektivitas yang akan muncul.
Dalam melakukan wawancara pun haruslah mempunyai kemampuan untuk melakukan pendekatan secara psikologis, maksudnya adalah cara dalam mewawancarai dengan melihat kondisi psikologis sumber yang dalam prakteknya sulit untuk menceritakan peristiwa yang dialaminya, sehingga memungkinkan kedepannya akan muncul kesulitan dalam mewawancara, misalkan orang yang akan diwawancara memiliki sebuah trauma yang berkaitan dengan cerita yang kita butuhkan, maka dalam hal ini pewawancara haruslah mengerti kondisi psikologis dan melakukan pendekatan sekaligus memberikan pengertian yang lebih. Kita harus membuat sang pengkisah merasa nyaman dengan wawancara yang dilakukan sehingga kisah yang diceritakan dapat dikeluarkan dengan benar pula dan pada akhirnya bisa kita dapat sumber lisan yang sepenuhnya dari sang pengkisah.